SEMAAN MANTAB




Semaan Al-Quran MANTAB

Kegiatan “Semaan Al-Quran MANTAB” bermula di suatu waktu – pertengahan bulan Juni 1986, bertempat di rumah seorang pegawai Bank BRI Kediri yang bernama Bapak Muhadi, beralamat di daerah Burengan Kediri – diselenggarakan suatu acara khataman Al-Quran dengan dihadiri oleh beberapa orang. Kegiatan itu dimulai dengan sholat shubuh berjama’ah, dan dilanjutkan dengan menyimak bacaan Al-Quran secara bersama-sama yang dibaca oleh para penghafal Al-Quran (huffadhul Quran). Kegiatan “menyimak” itu berlangsung selama sehari penuh, dijeda dengan pelaksanaan sholat fardlu yang dikerjakan bersama-sama, sehingga paripurna 30 juz.
Pada awalnya, kegiatan Semaan Al-Quran ini dijadwal rutin setiap Ahad Pon dan Jum’at Pon, dan dilaksanakan bergilir dari rumah ke rumah para jamaah di daerah Kediri dan sekitarnya. Perkembangan berikutnya, kegiatan itu makin luas diterima dan berkembang luar biasa pesat. Dari yang semula hanya diikuti oleh beberapa orang saja, dalam kurun waktu yang singkat – tak sampai lima tahun sejak dimulai – telah diikuti oleh ribuan jamaah. Dan bahkan sekarang ini – setelah hampir tiga dasawarsa – sudah menjadi puluhan ribu jamaah. Lingkup kegiatannya pun meluas. Tidak hanya di Jawa Timur yang merupakan daerah basis jamaah, tetapi juga merambah Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, dan bahkan ke luar Jawa. Bahkan kegiatan ini diselenggarakan secara rutin tiap tahun oleh Keraton Yogyakarta sebagai puncak peringatan “Hadeging Nagari Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat”.
Adalah Kyai Hamim Jazuli – atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Miek – putra dari KH Jazuli Utsman, pengasuh PP Al-Falah Ploso, tokoh sentral yang ada dibalik kegiatan Semaan Al-Quran ini. Beliaulah tokoh yang menghidupkan kembali tradisi lama dari zaman Rosulallah saw – bahwa Rosulallah saw gemar menyimak bacaan Al-Quran dari para sahabat Beliau. Salah satunya Ibnu Mas’ud, yang Beliau perintah untuk membacakan Al-Quran sementara Beliau menyimak bacaannya (HR Bukhari – Muslim). Dengan dukungan dari tokoh-tokoh seperti KH Ahmad Shiddiq, KH Hamid Pasuruan, KH Mundzir Bandar Kidul Kediri, KH Abdul Hamid Kajoran Magelang, dan Syaikhul Masyayikh KH Dalhar Nahrowi Watucongol Magelang, Beliau mengenalkan Semaan Al-Quran ini kepada khalayak. Mengajak dengan cara halus dan contoh konkrit untuk kembali mementingkan sholat lima waktu berjamaah dan Al-Quran, sekaligus “memasarkan” akhlaq-akhlaq Rosulullah saw.
Dalam menjalankan kegiatan ini, Beliau menggandeng dan mengkader orang-orang yang Beliau percaya semisal KH Farid Wajdi bin KH Ahmad Shiddiq (yang menjadi orang dekat dan kepercayaan Beliau dalam menyambung lidah – menyampaikan dan melaksanakan konsep-konsep Beliau di Semaan Al-Quran). Juga KH Moh Syauqi bin Abdul Halim Shiddiq Jember, KH Hasyim Sholih Ponorogo, dan KH Moh Dardiri Lempuyangan Yogyakarta. Tidak hanya tokoh-tokoh dari kalangan pesantren, Beliau juga melibatkan tokoh-tokoh di luar pesantren seperti Irjen Pol Purn Dr. Untung S Rajab dan GBPH H. Joyokusumo. Juga tak ketinggalan orang-orang seperti Mbah Mukhtar Bandar Kidul Kediri, Pak Bani Askar Tulungagung, Pak Syafii Ampel, dan lain-lain. orang-orang yang lugu dan sederhana, tetapi mempunyai keyakinan dan pendirian yang kokoh dan militan. “Semaan ini bila yang berkiprah menyajikan dan melaksanakannya hanya orang-orang dari kalangan pesantren, jadinya kurang luwes”, Demikian yang Beliau sampaikan.

Latar Belakang

Sebagai salah satu sosok “petugas” yang diyakini oleh banyak orang bisa memberikan keteduhan pada mereka, Beliau menjadi tujuan bersandar umat yang mendambakan kesejukan, kedamaian, dan ketentraman ditengah harapan yang hampir layu karena kegersangan jiwa. Banyak dari mereka yang sowan kepada Gus Miek dan berkeluh kesah mencari solusi dari berbagai beban dan permasalahan yang membelit mereka; baik masalah perorangan, rumah tangga, keluarga, sampai permasalahan masyarakat, dan bahkan negara. Dari yang ringan hingga yang amat berat. Solusi yang ditawarkan Gus Miek kepada mereka, ringkasnya, mengajak mereka untuk kembali kepada Allah dan mengetuk pintu kemurahan Nya. Memohon agar Allah berkenan mengangkat seluruh kesulitan dan permasalahan yang membelenggu. Dan upaya ini diawali dengan mengajak mereka untuk berkoreksi diri, dan dilanjutkan dengan melakukan pembenahan diri pribadi masing-masing dari dua sisi. Sisi bathiniyah, dan sisi lahiriyah.
Pembenahan bathiniyah dilakukan dengan memperbaiki kualitas ibadah, utamanya sholat wajib lima waktu, dengan melaksanakannya secara disiplin, tepat waktu, dan berjamaah. Dan dilengkapi dengan upaya untuk berakrab-akrab dengan Al-Quran dan banyak bersholawat kepada Rosulallah saw. Sedangkan pembenahan lahiriyah, difokuskan pada perbaikan cara ber-tholabul ma’isyah dan ber-mu’amalah, dengan meninggalkan transaksi yang bersifat remang-remang ( syubhat) dan apalagi yang haram, dan selektif dalam ber- mu’amalah. Solusi yang Beliau tawarkan ini nyatanya efektif dan mendapat apresiasi positif. Hanya saja, sebagian besar dari tamu-tamu Beliau ini berasal dari kalangan awam yang belum mengenal huruf-huruf Al-Quran. Dan bahkan sebagian dari mereka baru mengenal dan melaksanakan sholat setelah bertemu Beliau.
Melihat kondisi yang demikian ini, maka timbul gagasan Beliau untuk membuat suatu sarana yang bisa mendukung upaya mereka melakukan pembenahan diri sekaligus lebih menguatkan daya “sentuh” nya kepada Allah. Maka Beliau mengajak mereka untuk bersama-sama secara kolektif melakukan upaya pembenahan dalam wadah kegiatan ibadah berjamaah berupa semaan Al-Quran. Hal ini merupakan salah satu yang menjadi latar belakang munculnya kegiatan semaan Al-Quran.

Dibalik Nama MANTAB

Para khuffadz JANTIKO di tahun 80 an, Tampak Gus Muqorrobin sedang melafalkan Al-Qur'an
Para khuffadz MANTAB di tahun 90 an
Pada fase awal perkembangannya, ketika kegiatan ini telah berjalan secara rutin dan dan mulai berkembang di daerah Kediri dan sekitarnya, Gus Miek memberi nama kegiatan ini dan jamaahnya dengan nama JANTIKO; kepanjangan dari “jamaah anti koler (bahasa prokem daerah yang berarti roboh atau terguling)”. Harapan yang terkandung dari pemberian nama ini, agar jamaah yang tergabung dalam kegiatan semaan JANTIKO ini memiliki ketahanan yang prima dalam menghadapi segala situasi dan kondisi sesulit apapun dalam kehidupan ini. Tidak gampang jatuh terpuruk berputus asa dengan pertolongan Allah.
Pada tahap berikutnya, ketika kegiatan semaan Al-Quran ini telah merambah ke berbagai daerah, maka nama JANTIKO menjadi istilah yang “asing” yang kurang begitu dipahami oleh jamaah dari luar Kediri. Karena itu, Gus Miek selaku penanggung jawab, memandang perlu untuk mengganti nama JANTIKO dengan nama yang mencerminkan visi dan misi semaan Al-Quran yang lebih mudah dimengerti dan diterima oleh seluruh jamaah. Maka di suatu majlis sarasehan non formal yang biasa Beliau gelar selepas penyelenggaraan semaan Al-Quran, bertempat di rumah Bapak Nur Hadi yang waktu itu berdomisili di Gedang Sewu Pare Kediri, Beliau mengemukakan gagasan penggantian nama dari “JANTIKO” menjadi “MANTAB”, terambil dari bahasa arab “man taaba” yang berarti “orang yang bertaubat”, dengan mengambil dasar dari Al-Quran. “Nama ini dipilih setelah melihat perkembangan kegiatan dan jamaahnya yang semakin mantap. Sekaligus dengan nama yang baru ini, kegiatan ini akan menjadi lebih gampang dikenal dan dikenang, lebih mudah difahami dan direnungi, sekaligus mencerminkan visi dan misinya, bahwa kita semua yang terlibat dalam kegiatan ini adalah orang-orang yang merasa banyak berbuat salah dan dosa dan ingin bertaubat kembali kepada Allah.” begitu dhawuh Gus Miek di forum itu.
Gus Farid bersama para khuffadz dalam sebuah acara semaan Al-Qur'an JANTIKO di tahun 80 an
Gus Farid bersama para khuffadz dalam sebuah acara semaan Al-Quran MANTAB di tahun 90 an
Hadir pada forum tersebut orang kepercayaan Beliau, Gus Farid Wajdi, dan para Huffadz (Gus Musthofa Hadi, Gus Muqorrobin, Gus Zainal Abidin, dan Gus Nur Kholis Aziz yang saat itu Beliau perintah untuk menuliskan apa yang Beliau diktekan, serta membuat lambangnya seperti yang ada sekarang ini). Semenjak pertemuan itu, Gus Miek menyebut dan mengenalkan kegiatan semaan Al-Quran ini, dimanapun diselenggarakan, dengan nama “semaan Al-Quran MANTAB”. Dan khusus untuk kegiatan semaan di Yogyakarta, namanya ditambah dengan “Purbojati” untuk menegaskan bahwa kegiatan ini berkait dengan Keraton Yogyakarta. Sedangkan nama yang lama, JANTIKO, tak pernah Beliau pakai lagi.

Inti Kegiatan Semaan Al-Quran MANTAB

Semaan Al-Quran MANTAB adalah suatu kegiatan da’wah bil hal dan ibadah “murni”, yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan-kepentingan duniawi. Gus Miek sering menegaskan bahwa ibarat kapal, majlis semaan Al-Quran ini adalah kapal yang mengibarkan bendera hitam, Lambang kematian atau akhirah. Jadi tujuannya sudah jelas dan pasti, siapapun yang terlibat dan melibatkan diri didalamnya harus menyesuaikan diri dengan tujuan tersebut. Secara lahiriyah, isi kegiatannya berupa rangkaian ibadah ‘amaliyah kolektif yang intinya:
Pertama: menegakkan pelaksanaan sholat fardlu lima waktu secara berjamaah dan tepat waktu.
Kedua: di sela-sela pelaksanaan sholat lima waktu, sambil menanti pelaksanaan sholat yang berikut, seluruh yang hadir menyibukkan diri dengan Al-Quran. Baik dengan membaca, menyimak, atau berkontribusi yang lain sesuai dengan kemampuan dan kesempatan masing-masing dengan tetap fokus untuk tabarruk pada Al-Quran.
Ketiga: mengamalkan Dzikrul Ghofilin (rangkaian wirid yang disusun oleh tiga serangkai, Gus Miek, KH Ahmad Shiddiq, dan KH Hamid Pasuruan) selepas sholat Maghrib dan disambung dengan sholat ‘Isya berjamaah. Setelah beberapa waktu kegiatan berjalan, Gus Miek menambahkan aurod Dzikrul Ghofilindalam rangkaian kegiatan semaan Al-Quran sebagai penyempurnaan. Dan di beberapa kesempatan pertemuan di majlis semaan Al-Quran, Beliau menegaskan bahwa semaan Al-Quran dan Dzikrul Ghofilinini berkaitan dan manunggal.
Keempat: Berdoa – bermunajat bersama, memohon kepada Allah bagi sebanyak-banyak orang, yang sudah wafat, yang masih hidup, dan bahkan yang belum dilahirkan, yaitu semua anak cucu (dzurriyah), dan juga mendoakan saudara-saudara sebangsa (Indonesia) dan seluruh umat nabi Muhammad SAW.

Fungi dan Tujuan Semaan Al-Quran MANTAB

Dalam beberapa pertemuan di arena semaan Al-Quran, Gus Miek beberapa kali menyampaikan bahwa semaan Al-Quran ini mempunyai tri-fungsi:
Pertama, sebagai tempat ber-tapa brata (mahalluz zuhdi wal kholwah), karena di majlis ini, seluruh yang terlibat berlatih untuk mengendalikan nafsu, berlatih untuk selektif bergaul dan akrab dengan lingkungan yang selektif, belajar untuk akrab dengan ibadah dan upaya pendekatan diri kepada Allah, melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan selain ibadah, dan meletakkan seluruh beban-beban duniawi. Paling tidak, terkondisi seperti apa yang pernah Gus Miek dhawuh-kan dengan berkelakar, bahwa minimal kegiatan ma’siyat yang biasa Beliau lakukan akan terhenti selama Beliau berada di majlis semaan Al-Quran. Dalam kesempatan yang lain (ketika pelaksanaan semaan di tempat Bapak Untung Rajab Surabaya), Beliau memengistilahkan fungsi pertama ini dengan “segi tiga pengaman” yang menjadi tumbal untuk membentengi dan mengamankan seluruh yang terlibat dari segala “musibah” dunia-akhirat.
Kedua, semaan Al-Quran adalah ibadah agung yang mustajab, sesuai informasi dari Rosulullah saw bahwa membaca dan atau menyibukkan diri dengan Al-Quran adalah ibadah yang paling utama setelah sholat. Dan barang siapa mengkhatamkannya akan dianugerahi doa yang mustajab. Hal ini yang diharapkan bisa menjadi kekuatan batiniyah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hidup.
Ketiga, sebagai hiburan hasanah yang segar; bahwa seluruh rangkaian kegiatannya, mulai dari persiapan sampai paripurna acara, membawa pencerahan dan penyegaran ruhani bagi seluruh yang melibatkan diri.
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dengan melibatkan diri dalam semaan Al-Quran secara rutin, menurut Gus Miek (yang Beliau sampaikan ketika memberi sambutan dalam pelaksanaan semaan Al-Quran di kediaman Gus Farid Wajdi di Jember, dan ketika menjawab pertanyaan Sri Sultan Hamengkubuwono X ketika pelaksanaan semaan Al-Quran di Keraton Yogyakarta untuk kali yang pertama), adalah untuk secara bertahap membentuk pribadi-pribadi yang suka introspeksi diri, koreksi diri, mawas diri, mengenali kekurangan dan dosa-dosa dirinya, sampai pada kondisi ia tidak merasa suci – lebih dari itu – merasa lebih suci dari orang lain, yang mana hal ini diharapkan bisa menjadi modal bagi yang bersangkutan untuk mengenal Allah.
Indikator sederhana keberhasilan pelaksanaan semaan Al-Quran ini, menurut Gus Miek, apabila seluruh yang terlibat menjadi terbiasa ber-tafakkurtasyakkur, dan tadzakkurTafakkur intinya membiasakan untuk berkoreksi diri, sampai berkesimpulan bahwa kita adalah hamba yang lemah dan banyak dosa. Bukan orang yang sudah menjadi baik, apalagi lebih baik ketimbang orang lain. Tasyakkur intinya terampil menelusuri nikmat dan anugerah Allah sampai akhirnya senantiasa berbaik sangka kepada Allah dengan tidak mengenal istilah “musibah”. Tadzakkur, selalu mengingat Allah dalam setiap gerak dan diam. Apabila terwujud, maka ini adalah pertanda bahwa kita lebih dekat kepada tujuan. Untuk mencapai itu semua, maka kita barus yakin terhadap kebenaran dan keberkahan dari ibadah yang kita lakukan, ikhlas dalam melakukannya, dan istiqomah – terus menerus dan berkelanjutan dalam mengerjakannya.
Gus Miek dalam sebuah kesempatan di Kota Jember
Gus Miek dalam sebuah kesempatan di Kota Jember, di kediaman Bp Djudjuk

Sentuhan Gus Miek

Gus Miek adalah mursyid dan penanggung jawab tunggal semaan Al-Quran dan Dzikrul Ghofilin dalam artian bahwa apa yang Beliau sampaikan dan tawarkan kepada kita ini adalah kebenaran yang hakiki yang berani Beliau pertanggung jawabkan di hadapan Allah. Kebenaran yang bersumber dari Rosulullah saw. Bukan hal yang mengada-ada atau rekaan Beliau sendiri. Agar kita yang diajak benar-benar yakin akan kebenaran kegiatan ibadah ini. Kalau dilihat dari kegiatan fisiknya, semaan Al-Quran ini tidak banyak berbeda dengan kegiatan-kegiatan ‘ubudiyah yang lain. Bahkan ritual ‘amaliyah yang dilaksanakan dalam semaan Al-Quran ini pun bukanlah ritual yang bersifat khusus yang mungkin kurang begitu dikenal oleh umat. Akan tetapi, ritual-ritual ‘amaliyah yang benar-benar umum. Semua orang pasti tidak asing dengan sholat lima waktu berjamaah, membaca atau menyimak Al-Quran, dan dzikir-dzikir semisal istighfartahlil, dan sholawat. Yang menjadikan semaan Al-Quran ini berbeda adalah faktor sentuhan Gus Miek yang terwujud dan terpancar dalam misi kegiatan dan konsep penyajiannya:
Pertama, melalui semaan Al-Quran ini Gus Miek mengajak seluruh jamaah untuk belajar mementingkan dan meyakini hal-hal yang memang seharusnya sangat dipentingkan dan diyakini. Hal-hal yang sangat penting yang karena sudah sedemikian dikenal secara umum, atau mungkin karena gerusan kesibukan-kesibukan pada hal yang dianggap lebih “mendesak” (karena menyangkut kebutuhan ke-kinian dan ke-disinian), hingga menjadi kurang begitu terperhatikan atau bahkan terabaikan. Yaitu sholat lima waktu secara berjamaah, dan berakrab-akrab dengan Al-QuranLewat semaan Al-Quran ini, Gus Miek mengajak kita untuk kembali kepada cara pandang yang benar. Penyusunan skala prioritas yang benar dalam kehidupan sehari-hari, sehingga secara bertahap akan memperbaiki kualitas kehidupan kita, dan membawa ketentraman dan ketenangan batin. Tidak hanya di sini di saat ini saja, akan tetapi menjangkau masa depan yang jauh dan abadi di akhirat kelak.
Kedua, tidak hanya fokus pada ibadah lahiriyah saja, Gus Miek juga menata dan memandu seluruh yang terlibat dalam semaan Al-Quran untuk melakukan penghayatan dan pendalaman terhadap ibadah lahiriyah yang dilakukan agar tidak terjebak dan terpukau dengan rutinitas–rutinitas lahiriyah saja. Lewat kegiatan ibadah kolektif ini, melalui interaksi selektif diantara seluruh yang melibatkan diri di kegiatan ini, Gus Miek mengajarkan “nilai-nilai akhlaq” yang baku. Nilai-nilai kemanusiaan dan kehambaan yang kita perlukan untuk bisa mencapai predikat sebagai seorang manusia dan seorang hamba, agar kita pantas disebut sebagai “manusia” dan sebagai “hamba Allah”.
Sejak awal, dan terus menerus secara konsisten sampai akhir, Beliau berupaya untuk menata semaan Al-Quran ini agar benar-benar berbobot dan berkualitas di hadapan Allah, dan benar-benar bisa menjadi sarana bagi seluruh jamaah untuk berproses menempa diri, memperbaiki diri, dan meningkatkan kualitas diri, sekaligus sarana untuk berkomunikasi dan mengenal Allah. Dengan demikian diharapkan seluruh yang terlibat akan terwarnai dengan nilai-nilai akhlaq semaan Al- Quran, dan pada gilirannya bisa mengaplikasikan dan memancarkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kegiatan ini beserta semua yang terlibat di dalamnya bisa benar-benar menjadi penyejuk dan penyeimbang dalam masyarakat.
Secara garis besar, konsep Beliau tentang semaan Al-Quran ini adalah bagaimana agar terselenggara secara aman, tertib, rapi, tanggung jawab, dan manusiawi. Dan untuk mewujutkan itu, maka Beliau mengemukakan prinsip-prinsip pelaksanaannya sebagai panduan seperti berikut :
Pertama, seluruh yang terlibat atau melibatkan diri harus bersemangat untuk ikhlas. Bersemangat untuk sungguh-sungguh membersihkan kekeruhan-kekeruhan dalam hatinya dan berfokus kepada Allah.
Kedua, harus disuguhkan dengan penampilan yang simpatik dan menarik. Seluruh yang terlibat atau melibatkan diri harus ber-sopan santun lahir batin. Lebih-lebih karena kegiatan ini melibatkan banyak orang dan berinteraksi dengan orang lain.
Ketiga, pelaksanaannya harus sederhana tetapi berbobot. Fokus kepada ibadah, tidak perlu terlalu banyak menggunakan “aksesoris” yang tidak penting yang berpotensi mengalihkan atau memalingkan niat dari arah yang seharusnya.
Berkaitan dengan keikhlasan, Beliau mengajak seluruh yang terlibat agar dalam menghadapi setiap pelaksanaan semaan Al-Quran semuanya mempersiapkan diri sebaik-baiknya lahir-batin dengan menata niat untuk semata-mata beribadah, belajar zuhud dan kholwah. Berkali-kali Beliau menekankan agar jangan sampai terjangkiti penyakit “al-jarru wal majruru muta’alliqun bil fulus” (yang mengajak dan yang diajak fokus perhatiannya yang pertama dan utama materi semata). Di suatu kesempatan, Beliau dhawuh bahwa apabila semaan Al-Quran ini hanya dijadikan sekedar alat untuk mencari popularitas, keuntungan materi, status sosial atau pangkat duniawi, dan kekaguman dari khalayak, maka lebih baik semaan Al-Quran ini dibubarkan saja. Sebab, sia-sia saja apabila kita menjadi terkenal, populer, dan tenar di mata manusia, akan tetapi sekaligus cemar dan hina di pandangan Allah. Dan yang lebih tidak patut, sarana untuk itu adalah semaan Al-Quran yang seharusnya dimanfaatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kepada huffadhul Quran, Beliau memberikan arahan agar mandiri. Mempersiapkan segala kebutuhannya sendiri sebelum berangkat ke majlis semaan al Quran, termasuk transportasi dan akomodasi, sehingga kedatangannya ke majlis semaan Al-Quran benar-benar dalam niat beribadah. Tidak berpamrih mengharapkan sesuatu apapun dari tuan rumah. Beliau berkeyakinan bahwa faktor yang akan menjadikan semaan ini mendapatkan ridla dari Allah, bisa memberikan kemanfaatan sebagaimana yang seharusnya, dan langgeng ila yaumil qiyamah yang paling pokok adalah kegigihan dan ketahanan dari seluruh yang terlibat dalam berupaya untuk ikhlas berbuat – semata-mata mengharapkan Allah – dengan segala kendala yang ada, disertai dengan pengakuan kepada Allah akan keterbatasan dan kekurangan diri masing-masing.
Prinsip yang kedua, penyajian dengan cara yang simpatik dan menarik serta mengedepankan sopan santun lahir batin sangat diperlukan, mengingat – secara fisik – pelaksanaan semaan Al-Quran ini melibatkan banyak orang dan bersinggungan dengan orang lain yang berlatar belakang bermacam-macam. Sekaligus, dengan demikian semaan Al-Quran ini juga berfungsi sebagai sarana untuk menumbuhkan dan mengembag suburkan akhlaq. Tempat bagi seluruh yang terlibat untuk mengasah dan memperhalus rasa. Dan hal utama yang menjadi fokus perhatian Gus Miek dalam menanamkanakhlaq adalah penanaman mentalitas “aku hanyalah”, yang merupakan induk dan sekaligus sumber dariakhlaqul karimah. Karena itu, untuk menancapkan “aku hanyalah” ini, sering kali Beliau menyampaikan bahwa tidak ada “orang penting” di majlis semaan Al-Quran ini. Siapapun dia, yang ada hanyalah orang-orang yang berkepentingan terhadap Al-Quran.
Bahkan semaan Al-Quran ini telah ditegaskan berkali-kali, salah satunya dari KH Ahmad Shiddiq, bahwa ini bukan jam’iyyah (organisasi), akan tetapi jama’ah. Tidak ada struktur didalamnya yang menjadi motor penggerak kegiatan. Hal ini disengaja untuk meminimalisir peluang merasa sebagai orang penting. Semaan ini cukup digerakkan oleh beberapa orang – yang siapapun berhak terlibat, asalkan menyesuaikan diri dengan pakem-pakem semaan Al-Quran – yang Beliau istilahkan dengan panitia bayangan
Suatu ketika, Beliau pernah memberikan wejangan kepada orang-orang yang dipercaya untuk mengorganisir para jamaah, agar masing-masing mempunyai mental pengabdi yang siap memberikan pelayanan – tidak malah menuntut untuk dilayani. Dengan bahasa keseharian, Beliau menjelaskan hadits Rosulullah saw: “A’dhomun nasi ajran khodimuhum – manusia yang paling besar pahalanya adalah yang siap melayani sesamanya”, bahwasannya yang dimaksud adalah barang siapa yang siap menjadi “babu/ pelayan” bagi sesamanya, maka “babul jannah / pintu sorga” akan dibukakan baginya. Apabila yang bersangkutan tidak mempunyai mentalitas yang demikian ini, sebagai imbangannya ia harus punya doa yang mustajab yang akan menutup kekurangannya dalam memberikan manfaat kepada orang banyak. Apabila kesiapan untuk melayani tidak ada, dan doa yang mustajab juga tidak punya, maka yang lebih baik baginya adalah mengundurkan diri.
Menurut Beliau, orang yang paling mulia kedudukannya di arena semaan Al-Quran adalah samiin setia yang konsentrasi mengikuti pelaksanaan semaan Al-Quran mulai dari pembukaan dengan sholat Shubuh berjamaah sampai paripurnanya acara bi du’ai khotmil Quran, meskipun secara fisik ia tidak diperhitungkan. Beliau sering menyampaikan agar jangan sampai kita merasa sebagai orang yang bersih dan suci. Apalagi sampai merasa lebih bersih dan suci daripada orang lain. Akan lebih baik apabila kita menghayati sepenuhnya pernyataan “Robbana dholamna anfusana…”. Pancaran dari penghayatan ini, kita harus bisa bersikap baik dan ramah tamah kepada orang lain, dan siap mendukung kebaikan yang dilakukan orang lain meskipun berbeda wirid dan aliran.
Beliau sangat tidak menyukai arogansi pribadi, apalagi kelompok. Yang menjadikan seseorang berlaku semena-mena kepada orang lain atau kelompok lain. Beliau juga tidak menyukai segala bentuk pelanggaran, sesederhana apapun aturan yang dilanggar. Kepada jamaah semaan Al-Quran, Beliau mengajak untuk menjadi pelopor dalam menjadi warga negara yang baik. Berkenaan dengan kerapian dan keamanan, Beliau juga berpesan agar semaan ini dijaga “kehormatannya”. Jangan sampai karena kekurang hati-hatian, menjadi cemar dan ternoda. Misalnya dengan penempatan yang kurang bijak, di tempat orang yang cacat sosial, atau di tempat orang atau kelompok yang hanya akan memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan selain ibadah yang tidak layak, sehingga semaan Al-Quran menjadi “sasaran tembak”.
Para sami'in Semaan MANTAB bersiap untuk shalat berjamaah dalam suasana yang sederhana & khidmat
Para sami’in Semaan MANTAB bersiap untuk shalat berjamaah dalam suasana yang sederhana & khidmat
Tentang konsep kesederhanaan, yang menjadi “nilai baku” dan mendasar dalam setiap penyelenggaraan semaan Al-Quran, intinya bagaimana agar semaan Al-Quran ini bisa diselenggarakan dengan sederhana tapi berbobot, tidak memberatkan, dengan mengutamakan kebersamaan dan gotong royong. Pelaksanaannya haruslah rapi dan manusiawi. Semua yang dilibatkan, disentuh dan diajak untuk ikut andil secara suka rela menurut kemampuan dan kesempatan masing-masing, tanpa memaksakan diri diluar batas kemampuannya. Tidak boleh ada sikap atau perbuatan yang memaksa, meskipun halus, yang menyebabkan orang yang ingin melibatkan diri berkesulitan untuk menata hati atau merasa terpaksa dalam keikut sertaannya di semaan Al-Quran. Begitu pula sebagai imbangan, siapapun yang dipercaya untuk meneruskan amanah dari orang banyak harus melaksanakannya dengan terpercaya, tanggung jawab, dan tepat sasaran sesuai dengan niatan pemberi amanah. Kebutuhan pelaksanaannya disederhanakan dengan memprioritaskan hal-hal yang penting dan mendesak, dan berfokus pada upaya pelaksanaan ibadah yang berkualitas. Menyederhanakan aksesoris-aksesoris yang tidak terlalu perlu yang sering kali justru memberatkan dan menjadi penyebab teralihkannya perhatian dari tujuan yang pokok.
Sudah menjadi harapan Gus Miek bahwa semaan Al-Quran ini hendaknya bisa secara rutin terselenggara dari rumah ke rumah para fuqara-masakin dengan prioritas utama samiin setia, sebagaimana pesan Beliau saat terselenggaranya rapat “pra semaan” di rumah Bapak Baba Mutaryugo Surabaya. Beliau tiba-tiba menelepon dan berpesan agar semaan Al-Quran di Surabaya ini jangan hanya ditempatkan di rumah orang-orang kaya saja. Tapi perlu dipikirkan bagaimana caranya agar bisa ditempatkan di rumah samiin setia yang paling faqir.

Penutup

Pada tanggal 5 Juni 1993, Gus Miek, tokoh sentral semaan Al-Quran MANTAB berpulang ke rahmatullah. Praktis hanya sekitar tujuh tahun Beliau mendampingi kegiatan ini. Sebuah waktu yang sangat singkat. Akan tetapi, apa yang Beliau konsepkan sebagai pondasi kegiatan ini sangat luar biasa. Di waktu yang singkat itu, Beliau mengajarkan nilai-nilai ibadah dan akhlaq Rosulullah saw, yang Beliau sampaikan dengan bahasa keseharian kita, disertai dengan contoh implementasi yang faktual dan kongkrit yang mudah kita cerna. Sehingga yang Beliau sampaikan banyak membuka wawasan pemahaman kita akan ajaran-ajaran Rosulullah yang selama ini kebanyakan hanya kita pahami secara tekstual. Dengan berpegang dan berpedoman dengan konsep-konsep Beliau secara konsekwen, menjadi jaminan bahwa kegiatan semaan Al-Quran ini akan tetap berada di jalur yang seharusnya. Akan tetap menjadi ibadah yang bernilai dan mendapat keridlaan Allah.
Semaan Al-Quran saat ini Hampir tiga dasawarsa kegiatan ini berjalan semenjak dimulai pertama kalinya. Hingga saat ini, kegiatan ini masih berjalan dengan baik dan diterima masyarakat. Menjadi tantangan yang berat bagi siapapun yang terpanggil melibatkan diri untuk terus bertahan agar kegiatan ini tetap menjadi kegiatan ibadah murni yang berkualitas, yang terselenggara dengan tertib, aman, rapi, tanggung jawab dan manusiawi. Mempertahankannya agar tetap menjadi kegiatan yang menebar kesejukan kepada semua orang. Mempertahankan keberlangsungannya dengan cara yang menjadikan Gus miek tersenyum di tempat peristirahatan Beliau, yang menjadikan Rosulullah saw – nara sumber Beliau – bergembira dan ridla kepada kita, dan puncaknya Allah pun ridla kepada kita semuanya. Ditengah-tengah gempuran nilai-nilai baru yang muncul, yang kental dengan kepentingan-kepentingan yang berkait dengan ke-kini-an dan ke-di sini-an. Andaipun suatu ketika kegiatan ini menjadi susut dan memudar popularitasnya – seperti yang telah Gus Miek prediksikan, kita tetap bertekat untuk meneruskannya sampai nafas yang penghabisan dengan terus bertahan dengan nilai-nilainya. Tanpa sarana dan prasarana, dari masjid ke masjid, dari makam ke makam, karena kita yakin akan kebenarannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar